Kamis, 06 April 2017

Akhir Tragis sang Panglima



Awal Oktober tahun 1965 masih begitu mencekam. Ibu kota bergolak, hawa panas menjalar ke mana-mana. Ratusan massa dan mahasiswa yang terlanjur kalap mulai bergerak. Pada 8 Oktober 1965, markas Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jakarta dibakar.


Beberapa hari sebelumnya, R.E. Martadinata yang waktu itu menjabat Menteri/Panglima Angkatan Laut, mempersilakan massa mahasiswa dan kaum santri untuk menyapu bersih orang-orang yang terlibat organisasi PKI. Ia sempat berucap “Mereka (massa) bisa pergi keluar dan membersihkan komunis tanpa halangan dari militer” saat menghadiri pemakaman Ade Irma Suryani, putri Jenderal Nasution yang menjadi korban gerakan 30 September 1965.  Dengan kata lain, tentara, setidaknya Angkatan Laut di bawah kendalinya, tidak akan menghalang-halangi aksi massa untuk mengganyang PKI. 

Lahir di Bandung pada 29 Maret 1921, dengan nama lengkap Raden Eddy Martadinata memang sudah berminat pada sektor kelautan. Setelah lulus dari sekolah atas di Jakarta, ia meneruskan studinya di sekolah pelayaran milik pemerintah Hindia Belanda, Zeevaart Technische School, pada 1941.

Sayangnya, Martadinata tidak sempat lulus karena menyerahnya Belanda kepada Jepang pada 1942. Selanjutnya, ia mengikuti pendidikan pelayaran diselenggarakan oleh pemerintah militer Jepang di Indonesia hingga diangkat sebagai nakhoda kapal latih Dai28 SakuraMaru.

Martadinata memiliki peran yang cukup penting dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ia adalah salah satu penggagas dibentuknya Barisan Banteng Laut di Jakarta. Barisan ini berhasil merebut kapal-kapal milik Jepang di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok.

Barisan Banteng Laut yang beranggotakan para pemuda-pelaut termasuk Martadinata sebagai salah satu tokoh sentralnya juga menjalin komunikasi intensif dengan laskar-laksar pemuda lainnya dalam upaya mempersiapkan kemerdekaan seiring\ dengan kekalahan Jepang di Perang Asia Timur Raya. Hingga akhirnya, Sukarno-Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Karier Martadinata di Angkatan Laut cukup mulus--bermula dari BKR-Laut yang dibentuk pada 1945). Ia berkali-kali memimpin dan turut terlibat dalam aksi militer untuk meredam berbagai pergolakan yang terjadi di Tanah Air selama masa mempertahankan kemerdekaan, hingga menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut sejak Juli 1959. 

Martadinata adalah perwira yang loyal kepada Presiden Sukarno. Ia juga dikenal aktif di Badan Pendukung Sukarnoisme atau BPS. Sehingga nama Martadinata dimasukkan ke dalam Dewan Revolusi Indonesia oleh Bagian Penerangan Gerakan 30 September.

Dikutip dari Maulwi Saelan (Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa, 2008:209), Gerakan 30 September menyebut bahwa Dewan Revolusi dibentuk demi “menyelamatkan Republik Indonesia atas perbuatan-perbuatan jahat Dewan Jenderal dan kaki-tangannya agar dapat melaksanakan amanat penderitaan rakyat dalam arti yang sesungguhnya.”

Martadinata yang merasa tidak pernah terlibat dengan Dewan Revolusi membantah klaim dari Gerakan 30 September 1965 pimpinan Letkol Untung itu. Belakangan diketahui bahwa nama-nama dalam Dewan Revolusi tersebut dicantumkan begitu saja tanpa meminta persetujuan.

Tindakan seruannya mengenai PKI kepada massa mahasiswa dan kalangan santri tidak berkenan di hati Sukarno, sosok presiden yang sangat dikaguminya. Pada 21 Februari 1966, Presiden Sukarno mengumumkan reshuffle Kabinet Dwikora. Sejumlah nama menteri pun dicopot, termasuk Martadinata sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut.

Setelah didepak dari pemerintahan Martadinata mengemban tugas baru sebagai Duta Besar Luar Biasa Indonesia untuk Pakistan yang sedang rawan konflik,hingga pada awal Oktober 1966, Martadinata dipanggil pulang ke Tanah Air. Presiden Sukarno memberinya kenaikan pangkat Laksamana dalam peringatan hari ulang tahun TNI pada 5 Oktober 1966. Selain itu, Martadinata juga diminta untuk mendampingi tiga tamu kenegaraan dari Angkatan Laut Pakistan. 

Sehari kemudian, 6 Oktober 1966, Martadinata mengajak tiga tamunya berkunjung ke Puncak, Bogor, dengan menumpang helikopter yang dipiloti oleh Letnan Laut Charles Willy Kairupa. Menjelang kembali ke ibukota, Martadinata menawarkan diri untuk mengambil-alih kemudi helikopter berjenis Alloute A IV 422 itu. 

Malang bagi Martadinata dan tamunya, dalam perjalanan pulang, cuaca tiba-tiba memburuk. Helikopter yang dikemudikan Martadinata hilang kendali dan menabrak tebing di Riung Gunung. Helikopter itu meledak hancur berkeping-keping, seluruh penumpangnya tewas, termasuk R.E. Martadinata yang saat itu masih berusia 45 tahun. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar