Awal
Oktober tahun 1965 masih begitu mencekam. Ibu kota bergolak, hawa panas
menjalar ke mana-mana. Ratusan massa dan mahasiswa yang terlanjur kalap mulai
bergerak. Pada 8 Oktober 1965, markas Partai Komunis Indonesia (PKI) di
Jakarta dibakar.
Beberapa
hari sebelumnya, R.E. Martadinata yang waktu itu menjabat Menteri/Panglima
Angkatan Laut, mempersilakan massa mahasiswa dan kaum santri untuk menyapu
bersih orang-orang yang terlibat organisasi PKI. Ia sempat berucap “Mereka (massa) bisa pergi keluar dan membersihkan komunis
tanpa halangan dari militer” saat menghadiri pemakaman Ade Irma Suryani,
putri Jenderal Nasution yang menjadi korban gerakan 30 September 1965.
Dengan kata lain, tentara, setidaknya Angkatan Laut di bawah kendalinya,
tidak akan menghalang-halangi aksi massa untuk mengganyang PKI.
Lahir
di Bandung pada 29 Maret 1921, dengan nama lengkap Raden Eddy Martadinata
memang sudah berminat pada sektor kelautan. Setelah lulus dari sekolah atas di
Jakarta, ia meneruskan studinya di sekolah pelayaran milik pemerintah Hindia
Belanda, Zeevaart Technische School, pada 1941.
Sayangnya,
Martadinata tidak sempat lulus karena menyerahnya Belanda kepada Jepang pada
1942. Selanjutnya, ia mengikuti pendidikan pelayaran diselenggarakan oleh
pemerintah militer Jepang di Indonesia hingga diangkat sebagai nakhoda kapal
latih Dai28 SakuraMaru.
Martadinata
memiliki peran yang cukup penting dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Ia adalah salah satu penggagas dibentuknya Barisan Banteng Laut di Jakarta.
Barisan ini berhasil merebut kapal-kapal milik Jepang di kawasan Pelabuhan
Tanjung Priok.
Barisan
Banteng Laut yang beranggotakan para pemuda-pelaut termasuk Martadinata sebagai
salah satu tokoh sentralnya juga menjalin komunikasi intensif dengan
laskar-laksar pemuda lainnya dalam upaya mempersiapkan kemerdekaan seiring\ dengan
kekalahan Jepang di Perang Asia Timur Raya. Hingga akhirnya, Sukarno-Hatta
menyatakan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Karier
Martadinata di Angkatan Laut cukup mulus--bermula dari BKR-Laut yang dibentuk
pada 1945). Ia berkali-kali memimpin dan turut terlibat dalam aksi militer
untuk meredam berbagai pergolakan yang terjadi di Tanah Air selama masa mempertahankan
kemerdekaan, hingga menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut sejak Juli
1959.
Martadinata
adalah perwira yang loyal kepada Presiden Sukarno. Ia juga dikenal aktif di
Badan Pendukung Sukarnoisme atau BPS. Sehingga nama Martadinata dimasukkan ke
dalam Dewan Revolusi Indonesia oleh Bagian Penerangan Gerakan 30 September.
Dikutip
dari Maulwi Saelan (Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil
Komandan Tjakrabirawa, 2008:209), Gerakan 30 September menyebut bahwa
Dewan Revolusi dibentuk demi “menyelamatkan Republik Indonesia atas
perbuatan-perbuatan jahat Dewan Jenderal dan kaki-tangannya agar dapat
melaksanakan amanat penderitaan rakyat dalam arti yang sesungguhnya.”
Martadinata
yang merasa tidak pernah terlibat dengan Dewan Revolusi membantah klaim dari
Gerakan 30 September 1965 pimpinan Letkol Untung itu. Belakangan diketahui
bahwa nama-nama dalam Dewan Revolusi tersebut dicantumkan begitu saja tanpa
meminta persetujuan.
Tindakan seruannya mengenai PKI kepada
massa mahasiswa dan kalangan santri tidak berkenan di hati Sukarno, sosok
presiden yang sangat dikaguminya. Pada 21 Februari 1966, Presiden Sukarno
mengumumkan reshuffle Kabinet Dwikora. Sejumlah nama menteri
pun dicopot, termasuk Martadinata sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut.
Setelah didepak dari pemerintahan
Martadinata mengemban tugas baru sebagai Duta Besar Luar Biasa Indonesia untuk
Pakistan yang sedang rawan konflik,hingga pada awal Oktober 1966, Martadinata
dipanggil pulang ke Tanah Air. Presiden Sukarno memberinya kenaikan
pangkat Laksamana dalam peringatan hari ulang tahun TNI pada 5 Oktober 1966.
Selain itu, Martadinata juga diminta untuk mendampingi tiga tamu kenegaraan
dari Angkatan Laut Pakistan.
Sehari
kemudian, 6 Oktober 1966, Martadinata mengajak tiga tamunya berkunjung ke
Puncak, Bogor, dengan menumpang helikopter yang dipiloti oleh Letnan Laut
Charles Willy Kairupa. Menjelang kembali ke ibukota, Martadinata menawarkan
diri untuk mengambil-alih kemudi helikopter berjenis Alloute A IV 422
itu.
Malang
bagi Martadinata dan tamunya, dalam perjalanan pulang, cuaca tiba-tiba
memburuk. Helikopter yang dikemudikan Martadinata hilang kendali dan menabrak
tebing di Riung Gunung. Helikopter itu meledak hancur berkeping-keping, seluruh
penumpangnya tewas, termasuk R.E. Martadinata yang saat itu masih berusia 45
tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar